Senin, 26 Januari 2009

Ketika Bicara

Manusia tidak bisa menghindar dari berbicara, dan bahkan cara berbicara manusia akan mencerminkan kualitas intelektualitas dan lingkungan dirinya. Agama Islam mengajarkan tatakrama berbicara sebagai berikut:

  • Pembicaraan hendaknya mengarah kepada kebaikan, karena Rasulullah bersabda: Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya ia berkata yang baik-baik, atau berdiam diri saja. ( H. Muttafaq `alaih)
  • Menjauhkan diri dari pembicaraan yang bathil. Hadis riwayat Abdullah bin Mas`ud menyebutkan bahwa manusia yang paling besar dosanya di hari kiamat ialah orang yang paling banyak bicaranya soal kebatilan.
  • Meskipun berada di pihak yang benar, hendaknya tetap menghindari pertengkaran. Rasulullah pernah bersabda: Aku adalah pemimpin suatu rumahtangga di taman sorga yang diperuntukkan bagi orang-orang yang menghindari pertengkaran meski berada di pihak yang benar. (Sahih al Jami`, 1477)
  • Menjauhi pembicaraan yang berlebihan. Rasulullah pernah bersabda: Bahwa orang yang paling aku benci dan paling jauh tempatnya dariku nanti di hari kiamat adalah orang yang suka bicara banyak, yang suka membuat-buat dan yang pembicaraannya penuh kesombongan. (Silsilah sahihah, 791)
  • Memperhatikan pembicaraan lawan bicara, tidak memotong pembicaraan orang, tidak mendengar sambil main-main dan tidak mengalihkan perhatiannya ke hal lain. Ketika haji wada` Rasulullah pernah berkata: Tolong, orang-orang supaya diam mendengarkan (kata-kataku). (H. Muttafaq `alaih)
  • Menjauhi kata-kata yang sifatnya menghujat dan menjelek-jelekkan orang lain, karena hal itu akan mendatangkan banyak mudlarat. Firman Allah, Artinya: Janganlah sebagian kamu mengumpat sebagian yang lainnya, apakah salah seorang diantaramu sudi memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian jijik memakannya. (al Hujurat: 12)
  • Menurut Abu Hurairah, Rasulullah pernah menyebutkan bahwa; mengumpat (ghibah) itu menyebut sesuatu pada orang lain yang ia tahu bahwa apa yang disebutkan itu pasti tidak disukai oleh orang yang diceriterakan itu. Jika yang dikatakan itu benar, kata Rasulullah, hal itu disebut ghibah, jika tidak benar berarti dusta. (HR. Muslim)
  • Menjauhi pembicaraan yang berakibat adu domba atau memecah belah (namimah), yakni menyebarkan kebohongan, kebencian dan fitnah antara sesama manusia. Rasulullah pernah bersabda: Tidak akan masuk sorga tukang pemecah belah manusia. (HR.Muslim)
  • Tidak menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya, tidak pula menceriterakan rahasia orang lain tanpa seizin yang mempunyai rahasia. Rasulullah pernah bersabda: Cukup seseorang dipandang sebagai pembohong jika ia menceriterakan segala apa yang didengarnya. (HR. Muslim) Allah berfirman: Artinya: Tidak ada yang ke luar dari ucapan seseorang melainkan dicatat oleh malaikat Raqib dan Atid. (Q/s.Qaf: 18)
  • Apabila merasa perlu untuk mengkoreksi kesalahan orang lain, maka hendaklah dilakukan dengan bijaksana dan kasih sayang, tidak dengan emosionil, tidak konfrontatif, tidak meremehkannya atau membohonginya. Bersikaplah proporsionil, tidak main-main ketika ia harus serius, dan tidak tertawa-tawa ketika harus berduka cita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar